Semua terlahir dalam gelap



Dalam kegelapanlah ia tumbuh. Sebelum lahirnya di bumi ini, ia sudah masuk dalam fase kegelapan. Yakni dalam kandungan, yang hanya dapat hidup melalui asupan saripati sisa makanan seseorang. Semua kegelapan itu dilapisi oleh belitan ari-ari, dinding kesayangan dan kulit lembut pemberi kasih sayang. Dalam kegelapan pun ia terus tumbuh, hingga Dia menginzinkan bertemu keterangan. Kurang lebih 280 hari akhirnya ia diperkenankan bertemu kegelapan selanjutnya. Dengan menangislah ia menyapa kegelapan, mata masih tertutup, menangis adalah caranya menyapa dalam dunia yang penuh kegelapan bukan dengan kegirangan. Masih dalam kondisi menangis digendonglah ia meniti pucuk-pucuk indah itu, untuk merasakan Air Surga Indah (ASI) yang diberikan Sang Pemberi.
Kegelapan selalu mendampinginya dimanapun. Keluar dari tempat gelap menuju tempat gelap selanjutnya. Di dunia ini ia belum mengenal apa dan siapa. Lantas diperkenalkan lah, “aku ibumu itu ayahmu” katanya dilanjutkan berpindah tangan. Sesuatu menusuk telinganya dengan bahasa yang tak dimengerti, seseorang dengan suara yang lebih berwibawa melafadzkan sesuatu yang sejuk, beberapa kata ia ucapkan berulang kali pertama ditelinga kanan, dan yang lebih singkat disisi lainnya. Telinga apakah itu? Sepertinya ia tak mengerti apa yang ia gumamkan.
Lambat laun akhirnya cahaya datang juga. Semua terlihat tatkala sepasang bola mata terbuka “oh ternyata aku sedang dibopong”. Dalam ruangan kedap ia terlihat tak bebas, semua gerak terbatas ditempat berukuran 1x1 meter –kelak dikenal inkubator. Sungguh inikah cahaya yang dinantikan? Terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang melekat pada tangan dan juga tempat aku menghirup sesuatu yang membuat dadaku membesar. Terang yang menyebabkannya mengetahui kalau hidup tak bebas.
Makin lama diketahuinya bahwa ia bodoh sebab tak mengetahui apa ini apa itu. Sementara yang bisa ia tahu, ia dapat mendengar. Apapun itu diserap tanpa penolakan, entah benar atau salah. Menangis masih satu-satunya cara untuk memberitahu mereka kalau tak nyaman, entah perut berbunyi, risih celana yang dipakai basah dan bau.
Semakin lama badannya makin besar, makin banyak pula yang harus bisa dilakukan. Sungguh kejam. Diajarkan lah bicara walau cuma aak, iik, nguuk. Lama kemudian berjalan dengan tangan mereka masih menuntun tangan mungil itu, sakit kelihatannya tapi tetap dipaksa. Makin lama banyak hal yang belum ia ketahui, kegelapan itu masih saja melingkari tumbuh mungil itu kemanapun –dan sampai kapanpun.
Bayangan kegelapan dan kebodohan masih saja mengintil dengannya, kecuali dalam gelap itu sendiri. Juara kelas pun masih ia pandang sebagai kegelapan, bagaimana tidak, ia melihat sedihnya kawan yang tak naik. Pun sama halnya menjadi Presidium sebuah parpol, padahal ia sendiri yang mengajukan diri. Apakah untuk hilang kegelapan dia harus bertemu dengan cahaya? Nyatanya tidak. Ia sendiri tak bisa melihat apa-apa ketika dipalingkan wajahnya ke Sumber dari segala cahaya. Kegelapan masih saja melingkup.
Dilamunannya, binar mata itu masih saja kopong. Terbengong melihat ramai hijau gelap dedaunan. Biji-biji dulu yang ia tanam dalam kegelapan tanah, kini semuanya bersusah payah berdesakan mencari jalannya. Dan kini ia tahu, semuanya tumbuh dalam gelap menuju terang dengan caranya masing-masing walau kadang missing.
Dan pada gelap
Silahkan terlelap
Bawalah dalam senyap
Tapi cukup sekejap

This entry was posted in . Bookmark the permalink.