Kemari dan temani
Makhluk
kecil datang dari pengasingan. Tumbuh. Kembang. Besar. Menggelegar. Tak
terkalahkan. Tanpa tandingan. Menggiurkan. Tersingkirkan. Diasingkan. Hilang.
Kamu
tahu kan proses hidup, sayang? Kau kecil dulu dimandikan, mandiri (mandi
sendiri), nanti akan dimandikan lagi. Kamu pernah lihat ikan cupang, dengan
kepakan slayernya, sungguh indah bukan? Tapi yang lebih indah dari itu, mereka
saling cinta dengan caranya tanpa dibuat-buat. Mungkin kau anggap mereka saling
melukai cokot sana-sini tapi mereka
menikmatinya, dan kau? Tak usah lah ubah persepsinya, apakah mereka
menggangumu, sayang?
Ada
satu lagu memble yang aku suka
“terimakasih kalian barisan para mantan dan semua yang pergi tanpa sempat aku
miliki”. Detungan yang amat merdu sampai buat hatiku kelu. Tapi masih ada satu
lagu lagi yang sering aku dengarkan, Rayuan Pulau Kelapa judulnya. Kamu tahu
kan, yang? Lambaian pantai yang menyiur, buat ragaku semakin tergiur. Menikmati
masa kini yang berkecukupan tanpa syukur melihat sekitar. Maafkan aku sayang,
aku telah berani mengatakan cinta pada tanah yang subur ini, tapi menanam padi
saja aku tak berani, gatal. Apalah juga aku ini, hanya koruptor kecil, telah
banyak aku memakan waktu tuk deskripsikanmu.
Sayang,
ingatkan lah aku kalau rayuan pulau kelapa lah yang kucinta, bukan pulau yang
seribu jumlahnya, aku tak sanggup. Sayangku sayang, kenapa kau ajarkan nama ibu
dan pertiwi selalu berdampingan? Karena sayangkah mereka? Bagaimana kalau hanya
Ibu? Atau Pertiwi? Masihkah mereka memiliki makna?
Pernah
dengar nama Datuk Sultan Ibrahim? Yak
kamu pintar sekali! Dia si revolusioner itu, nama bekennya Tan Malaka. Aku
pernah baca tulisannya “Idealisme ialah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki
pemuda”. Idealismeku, idealismemu, idealisme mereka, idealismeNya, semua pasti
berbeda kan? Tolong dijawab yang! Katakan saja walau kau tahu aku ini keras
kepala! Biarkan! Biarkan semua ocehan sinis, najis, bengis, atau is-is lainnya mereka lontarkan. Tapi
dihadapanmu aku hanya lelaki melankolis, sedikit romantis, walau kadang apatis.
Sayang
kau masih disana kan? Jangan tidur sebelum kantuk datang, sebab dimalam lah
kita dapat berbincang. Bukan bermaksud egois, tapi seperti ini lah hidup di
zaman kapitalis. Semua energi kita habis hanya demi segala kesibukan dan
rutinitas, melebihi robot sampai kita lupa punya otot. Kita sudah tak bisa
menonton wayang semalam suntuk, dengan alasan takut kerja nanti ngantuk. Ya
sayang, kapitalis memang membuat budaya kita terkikis. Maaf kalau aku skeptis
tapi ini realistis! Bukalah matamu! Tak bisa dipungkiri, ada kanan dan kiri! Ahh
sudah lah sayang, kata-kataku yang makin ku sayang. Maukah kau menemaniku
mendayung diantara dua karang? Bersama. Kita takkan pernah hilang.
iya sini aku temenin