Menelanjangi Diri Sendiri

Di masa tak tahu malu. Tiba-tiba seorang napi kolot menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya. Lantas berjalan kesana-kemari mengitari ruang sempit yang dikelilingi besi. Kini tahun keduanya ia berada disana. Buah dipangkal pahanya nampak lesu berkerut kekurangan udara bebas, sebab saku bolong disamping kanan tak menghantarkan udara segar, juga sudah 2 bulan ini celana yang dilepasnya tadi dipakainya tanpa ganti.
Dalam keadaan telanjang, kini ia meracau tak jelas, bahkan cenderung berteriak lalu seketika berhenti lantas menangis. Dengan nafas yang terputus-putus, ia memainkan jemari tangannya, serasa sedang menghitung sesuatu. Ia mengingat-ingat. Dihitungnya 1380 atau paling sedikit 660 sujud yang bisa ia lakukan, lantas terlewat begitu saja tak dikerjakan setiap malam. Makin deras lah isaknya. Dipukul-pukulnya tembok 20 senti tempat biasa ia bersandar. Darah dan marah tambah menyesakan ruang sempitnya. Seketika sang tua bangka teringat ceramah menjelang matahari terbenam di surau dekat rumahnya. Didengarnya, Adam yang notabene sang pemula peradaban diperintahkan untuk puasa 30 hari 30 malam oleh Penciptanya. Gila! katanya teriak dalam rumah. Untuk membersihkan zat racun dari buah terlarang yang mengakibatkannya terusir dari singgasana kenikmatan, tambah pak Kaji yang terdengar dari pengeras suara diatas genteng. 
"Siang dan malam silih berganti. Kini lewat sudah yang Kau karuniai. Selamat tinggal, bulan yang namanya tersemat dibanyak insan. Izinkan kami mencumbumu tahun depan" katanya dalam hatinya.
Sedang diluar jerujinya, para sipir yang tak kalah tua kegirangan sibuk membicarakannya, menertawakannya, mencaci-maki, lalu terus mengulang lagi.
Menelanjangi
diri sendiri. Dalam
Terungku besi.

Tabik. Jakarta, 1 syawal 1439H

This entry was posted in . Bookmark the permalink.